Tentang korupsi



Korupsi dan koruptor berasal dari bahasa latin corruptus, yakni berubah dari kondisi yang adil, benar dan jujur menjadi kondisi yang sebaliknya (Azhar, 2003:28). Sedangkan kata corruptio berasal dari kata kerja corrumpere, yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat, atau disuap (Nasir, 2006:281-282).

Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi (Anwar, 2006:10). Masyarakat pada umumnya menggunakan istilah korupsi untuk merujuk kepada serangkaian tindakan-tindakan terlarang atau melawan hukum dalam rangka mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain. Hal yang paling mengidentikkan perilaku korupsi bagi masyarakat umum adalah penekanan pada penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi.

Dalam Kamus Lengkap Oxford (The Oxford Unabridged Dictionary) korupsi didefinisikan sebagai penyimpangan atau perusakan integritas dalam pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa.Sedangkan pengertian ringkas yang dipergunakan World Bank, korupsi adalah penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi (the abuse of public office for private gain).

Definisi lengkap korupsi menurut Asian Development Bank (ADB) adalah korupsi melibatkan perilaku oleh sebagian pegawai sektor publik dan swasta, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri mereka sendiri dan atau orang-orang yang dekat dengan mereka, atau membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut, dengan menyalahgunakan jabatan dimana mereka ditempatkan.

Dengan melihat beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi secara implisit adalah menyalahgunakan kewenangan, jabatan atau amanah secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi dan atau kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan umum.

Dari beberpa definisi tersebut juga terdapat beberapa unsur yang melekat pada korupsi.Pertama, tindakan mengambil, menyembunyikan, menggelapkan harta negara atau masyarakat.Kedua, melawan norma-norma yang sah dan berlaku.Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang atau amanah yang ada pada dirinya.Keempat, demi kepentingan diri sendiri, keluarga, kerabat, korporasi atau lembaga instansi tertentu.Kelima, merugikan pihak lain, baik masyarakat maupun negara.

Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo.UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan; kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi.Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi (KPK, 2006: 19-20).

Dalam UU No. 20 Tahun 2001 terdapat pengertian bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ada sembilan tindakan kategori korupsi dalam UU tersebut, yaitu: suap, illegal profit, secret transaction, hadiah, hibah (pemberian), penggelapan, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan jabatan dan wewenang serta fasilitas negara.
Model, Bentuk dan Jenis Korupsi
Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk mencakup pemerasan, penyuapan dan gratifikasi pada dasarnya telah terjadi sejak lama dengan pelaku mulai dari pejabat negara sampai pegawai yang paling rendah. Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan (habit) yang tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah, suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain dan pada akhirnya kebiasaan tersebut lama-lama akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat merugikan keuangan negara.

Beberapa bentuk korupsi diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa uang maupun barang. 
2.    Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu. 
3.    Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu. 
4.    Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional. 
5.    Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya. 
6.    Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara. 
7.    Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah.

Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi, yaitu (Anwar, 2006:18):
1.    Korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa. 
2.    Korupsi manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi usaha ekonominya. 
3.    Korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan, pertemanan, dan sebagainya. 
4.    Korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi. 

Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis adalah: pungutan liar, penyuapan, pemerasan, penggelapan, penyelundupan, pemberian (hadiah atau hibah) yang berkaitan dengan jabatan atau profesi seseorang.

Jeremy Pope (2007: xxvi) mengutip dari Gerald E. Caiden dalam Toward a General Theory of Official Corruption menguraikan secara rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal, yaitu:
1.    Berkhianat, subversif, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan. 
2.    Penggelapan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri. 
3.    Penggunaan uang yang tidak tepat, pemalsuan dokumen dan penggelapan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana. 
4.    Penyalahgunaan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya. 
5.    Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan memperdaya, memeras. 
6.    Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan secara tidak sah, menjebak. 
7.    Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu. 
8.    Penyuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta komisi. 
9.    Menjegal pemilihan umum, memalsukan kartu suara, membagi-bagi wilayah pemilihan umum agar bisa unggul. 
10.                       Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi; membuat laporan palsu. 
11.                       Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin pemrintah. 
12.                       Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak, dan pinjaman uang. 
13.                       Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan. 
14.                       Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan. 
15.                       Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya. 
16.                       Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap. 
17.                       Perkoncoan, menutupi kejahatan. 
18.                       Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos. 
19.                       Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan, dan hak istimewa jabatan.

Dasar hukum/instrumen pemberantasan korupsi

Dasar hukum pemberantaran tidak pidana korupsi adalah sebagai berikut.
a. UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan
Bebas KKN.
c. UU No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
d. UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
e. Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Penyelengaraan Negara yang
Bersih dan Bebas KKN.
f. UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
g. UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK).
h. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004 tentang
Percepatan Pemberantasan Korupsi.
i. Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
j. Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber
Daya Manusia KPK.
Serangkaian tindakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi (melalui
upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksanaan sidang pengadilan) dengan peran serta masyarakat berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku disebut pemberantasan korupsi (UU
30/2002 Pasal 1 butir 3). Berdasarkan UU No. 30 tahun 2002 telah dibentuk
komisi yang khusus menangani korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Tugas KPK adalah menyelidiki para pejabat yang dicurigai melakukan
tindakan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Pasal 3 undang-undang
tersebut adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Peran
Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index (CPI)tahun 2012 yang dirilis Transparency International menempatkan Indonesia pada peringkat 118 dari 174 negara dengan angka CPI sebesar 32. Peringkat CPI Indonesia pada tingkat regional masih dibawah negara-negara ASEAN lainnya seperti Singapura (5), Brunei Darussalam (46), Malaysia (54), Thailand (88), Filipina (105) dan Timor Leste (113).peringkat Indonesia hanya lebih unggul dari Vietnam (123), Kamboja (157), Laos (160) dan Myanmar (172).
Rendahnya peringkat CPI Indonesia mencerminkan makin akutnya kasus korupsi di Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan dari pemberitaan di media massa dimana kasus korupsi sering menjadi headline pemberitaan, mulai dari kasus korupsi yang menyeret nama pejabat tinggi negara hingga kasus korupsi kecil pada tingkat kelurahan. Hampir semua lembaga negara pernah tersangkut kasus korupsi mulai dari lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.Korupsi sudah begitu mengguritanya di Indonesia sehingga memunculkan rasa skeptis masyarakat terhadap pemberantasan korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian dan Kejaksaaan sudah banyak mengungkap kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi kasus-kasus tersebut tersebut hanyalah segelintir dari kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Jumlah personil KPK, Kepolisian dan Kejaksaan yang ada tentu tak sebanding dengan kasus korupsi yang sangat marak terjadi di Indonesia, terlebih lagi Kepolisian dan Kejaksaan masih harus menangani masalah-masalah lain.
Salah satu jalan untuk membantu kelancaran pemberantasan korupsi di Indonesia adalah dengan memberikan peran serta kepada masyarakat.Masyarakat harus diberikan edukasi mengenai dampak buruk korupsi dan melaporkan segala bentuk kegiatan praktek korupsi yang terjadi sekecil apapun itu. Terlebih korupsi bukan hanya masalah besar kecilnya uang negara yang diambil, persepsi masyarakat dalam menolerir kasus korupsi yang kecil harus dirubah karena nantinya akan menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Michael Backman (2008: 210) dalam bukunya Asia Future Shock menerangkan bahwa salah satu persoalan besar dalam memerangi korupsi di Indonesia adalah masyarakat Indonesia cenderung mendefinisikan korupsi dari segi kuantitas, yang berarti bahwa baru akan disebut korupsi jika yang diambil secara tidak semestinya (berjumlah besar). Banyak orang juga menganggap bahwa sah atau wajar saja jika orang-orang yang berkuasa memanfaatkan kedudukan untuk memperkaya diri.Masyarakat baru jijik jka orang-orang itu terlalu serakah.
Dengan demikian merubah persepsi masyarakat Indonesia yang menolerir kasus korupsi yang kecil perlu dirubah, karena dari kasus korupsi yang kecil ini muncul niat untuk melakukan korupsi yang lebih besar.Masyarakat Indonesia harus berperan serta dalam pemberantasan korupsi dengan melaporkan praktek korupsi yang terjadi.Sekecil apapun korupsi yang terjadi hendaknya tidak dapat ditolerir dengan alasan apapun karena uang yang diambil merupakan uang negara yang seharusnya digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

1 Response to "Tentang korupsi"